Dilema di Kereta: Mengalah atau Memperjuangkan
Photo by Vlad Bagacian |
Minggu lalu seperti biasa pulang pergi ke rumah itu aku pasti menggunakan kereta. Ketika berangkat aku bersyukur karena kereta yang aku pilih ternyata kereta yang sudah menggunakan rangkaian kereta api baru alias kereta new generation. Mana naik kelas eksekutif dan tentunya nyaman sekali.
Pulangnya aku memilih perjalanan sore dengan menggunakan kereta api ekonomi. Seperti biasa, tidak ada yang berbeda dengan pilihanku.
Sore itu ketika akan pulang ke tempat perantuan rasanya hati aku campur aduk lantaran kembali meninggalkan rumah dan harus menabung rindu untuk bertemu lagi di minggu-minggu selanjutnya. Diantar Bapak sampai stasiun dan begitu sampai stasiun, aku memesan iced cappucino; berharap diperjalanan aku bisa terjaga seraya memandang pemandangan lewat jendela. Karena tiket yang aku pesan itu dekat jendela.
Begitu sampai di gerbong, aku cukup menarik nafas panjang lantaran banyak sekali penumpang yang naik sampai-sampai bagasi atas pun habis. Terpaksa aku hanya bisa menyimpan koperku di dekat pintu gerbong. Begitu aku sampai di kursiku rupanya kursiku sudah ditempati oleh seorang anak seusia SD. Kursi itu muat untuk tiga orang. Bapak-bapak yang ada di sana pergi karena dia sadar itu bukan kursinya.
"Maaf saya di kursi 9A." Kataku.
"Oh iya, silahkan Teh."
Begitu Bapak itu pergi, sekali lagi aku bilang bahwa aku duduk di kursi A. Namun si Ibu tidak mengindahkan ucapanku. Mungkin ucapanku pelan. Akhirnya dengan berat hati aku duduk di kursi C. Si Ibu yang berada di tengah hanya duduk santai tidak peduli bahwa kursi yang ditempati anaknya itu adalah kursiku.
Berkali-kali pengumuman di kereta menyampaikan bahwa semua orang harus duduk sesuai dengan nomor yang tertera di tiket. Sampai pada akhirnya kereta itu berhenti di Stasiun Cipeundeuy dan si Ibu beserta anak itu turun. Aku bergeser dan duduk di kursiku. Begitu mereka kembali lagi aku bilang dengan sopan,
"Maaf Bu, ini kursi saya."
"Oh gimana ya, anak saya pengen duduk di dekat jendela." Ucapnya tanpa merasa bersalah sementara si anak entah mendengarkan Ibunya berbicara atau tidak nampaknya biasa-biasa saja berdiri di belakang Ibunya.
Aku menarik nafas panjang mendengar jawaban si Ibu tersebut.
"Oh gitu ya." Jawabku pendek, malas berdebat dan aku kembali mundur ke kursi C lagi.
Lalu mereka kembali duduk seolah tak terjadi apa-apa.
Oh gini doang? Gak ada minta maaf atau bagaimana?
Uuh.. Perasaan aku kesal bukan main. Ingin berdebat, marah tapi sungguh aku tak berani. Mana di bawah kursi si anak banyak banget barang.
Fikiranku kacau selama perjalanan itu. Aku ingin protes, tapi masa harus berdebat hanya karena anak kecil? Gimana kata orang nanti?
Aku hanya memikirkan bagaimana reaksi orang-orang tanpa mempedulikan hakku untuk duduk di sana.
Aku terus menenangkan diri. Mencari hal positif lainnya.
Koper kamu kan ada di ujung sana. Mungkin duduk di dekat gang biar mempermudah kamu pas nanti kamu turun. Atau ya udahlah orang udik, gak tahu aturan. Ngapain mesti didebat.
Alangkah baiknya si Ibu itu tidak egois dan belajar untuk mendisiplinkan anak sedini mungkin. Jangan mentang-mentang status "anak" kemudian bisa seenak jidat ngambil alih hak orang lain di fasilitas umum. Emang sampai tua dia bakal terus berada di bawah perlindungan orang tua? Enggak! Anak juga harus belajar untuk menghargai dan menghormati hak orang lain. Kalau mau duduk di dekat jendela, tolonglah pas beli tiket pilih yang bener!
Dari hal ini aku belajar, bahwa aku pun sebagai orang dewasa berhak untuk menyampaikan dan memperjuangkan yang memang hakku. Dan juga sebagai reminder kalau aku punya anak nanti jangan sampai seenak jidat kayak ibu-ibu itu. Yang dengan entengnya bilang anaknya pengen duduk di sana tanpa diajari untuk izin dulu kepada yang berhak yang punya tempat duduk tersebut dan meminta maaf karena sudah mengambil tempat duduknya. Karena gak semua hal di dunia ini bisa kamu dapatkan sesuai dengan apa yang kamu mau. Itu poinnya. Apalagi udah jelas-jelas hak orang lain malah kamu ambil.
Selain itu, aku tidak perlu takut atas cibiran orang-orang. Yang penting sampaikan dengan baik dan santun. Karena omongan orang kan gak bisa kita kendalikan. Lagi pula pada saat itu aku takut atas fikiran aku sendiri.
Jika bertemu lagi dengan situasi itu, aku akan tegas bilang,
"Mohon maaf kursi saya di dekat jendela, silahkan bisa duduk sesuai kursi yang tertera pada tiket ya."
"Tapi anak saya duduknya ingin dekat dengan jendela."
"Mohon maaf Bu, saya jauh-jauh sudah pesan tiketnya yang memang duduk dengan jendela. Di kereta sendiri sudah ada aturannya untuk duduk sesuai dengan nomor yang tertera dengan tiket."
Kalau masig ngeyel?
Panggil Kondektur nya aja. Hahahahaaa.
Sampai pada akhirnya aku menemukan kata-kata di bukunya Haemin Sunim "Love for Imperfect Things: How to Accept Yourself in a World Striving for Perfection",
Be good to yourself first, then to other.
Why am I such an idiot, that I can't express my feelings properly, can't even speak up honestly?
Cukup sekian cerita yang membuat hati jengkel sepanjang jalan.
Semoga teman-teman bisa tegas pada diri sendiri dan juga orang lain ya :)
Cheers,
Ihat
0 comments