Monday, September 30, 2024

Belajar Mendengarkan


Photo by Oleksandr P

Rasanya ada sesuatu yang aneh dengan diriku.

Sudah hampir dua bulan lebih ini aku mengalami gangguan tidur. Mata terpejam tapi fikiran masih berputar-putar. Tak jarang membuat aku terbangun dan sulit untuk membuat mata terpejam. Atau jika pada akhirnya aku tertidur, tetap aku akan terbangun dengan nafas tersegal-segal karena mimpi buruk yang kerap datang menghantui. Bahkan beberapa kali jantungku berdebar seperti sehabis olahraga lari. 

Jadi selama dua bulan lebih ini perihal tidurku aku hanya diberi dua pilihan:

1. Aku akan terus terjaga dan sulit memejamkan mata;

2. Mata terpejam tapi fikiran masih berlarian;

3. Bisa tidur tapi pada akhirnya aku akan bermimpi buruk dan bangun dengan keadaan tubuh capek disertai dengan nafas tersegal-segal.

Sayangnya, pada saat aku hendak meminta bantuan profesional aku merasa seolah aku diejek oleh dokter umumnya lantaran alasanku seperti itu karena stress bekerja. Aku meminta dengan baik bahwa aku ingin pergi konseling, tapi dokter itu tidak berkata apapun dan hanya memberikan aku obat agar aku bisa tertidur. 

Aku kesal bukan main karena pada saat daftar aku meminta untuk pergi ke bagian konseling. Sambil mengantri obat rasanya aku kecewa, merasa dikecilkan, dokternya pun menyebalkan karena dengan mudahnya dia menganggap enteng hal yang selama ini mengangguku: jam tidur. 

Setibanya di apotek, apoteker itu kemudian bertanya kenapa aku diberi obat tidur. Pada awalnya aku hanya menjawab dengan senyum, namun pada akhirnya aku tak bisa menahan air mataku. 

"Tempat terbaik untuk bercerita adalah kembali kepada keluarga. Karena keluarga yang paham kondisimu saat ini. Atau Teteh bisa cerita semuanya tanpa merasa dihakimi kepada Dzat yang menciptakan Teteh. Siapa yang menciptakan Teteh?"

"Allah," jawabku lirih. 

"Bukannya gak boleh ke psikolog, cuma tetap yang paling bisa memahami kondisi Teteh saat ini adalah keluarga Teteh."

Aku terdiam. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan ucapan si apoteker ini. Qadarullahnya dia ngomong sama aku yang memang hubungan aku dengan keluarga baik-baik saja. Bagaimana jika kondisi hubungan aku dengan keluarga aku tidak baik-baik saja? Mungkin aku akan tambah marah.

Begitu sampai di rumah, aku menangis tak karuan di depan Ibu dan Bapak ku. Rasanya seluruh kekesalan, kekecewaan, uneg-uneg, marah, bersatu padu. Meski aku bisa bercerita kepada mereka, tetap saja ada the dark side yang aku sembunyikan.

Selama dua bulan lebih ini pula, aku pernah menangis sejadi-jadinya tanpa alasan yang jelas hingga pikiran mulai mengarahkan aku untuk self-harm. Aku sudah ingin mengambil benda itu, sempat terbersit kayaknya enak juga bikin luka di tubuh untuk meredakan perasaan kacau ini... Tapi niat itu aku urungkan kembali dan sebisa mungkin aku lawan perasaan itu dengan istighfar, mencoba mengingat Allah walau keadaan aku kacau balau dengan kondisi aku sendirian di kosan. 

Dan pikiran itu terjadi sudah dua kali. 

Dan ternyata... Melawan pikiran itu saat pikiran itu datang sungguh luar biasa sulit. Aku seperti kehilangan diri sendiri. Aku seperti tak mengenal diriku sendiri. 

Itulah mengapa alasanku mulai pergi untuk mencari bantuan profesional. Sayangnya di tempat itu aku harus diarahkan ke dokter umum dulu berkaitan dengan tidurku berantakan dan pada saat diperiksa dia malah menganggap remeh kata "stress kerja" yang aku sampaikan. Yang pada akhirnya aku tidak diarahkan ke ruang konseling. MENYEBALKAN!

Dear kamu,

Siapapun kamu, profesi apapun yang kamu jalani saat ini jika kamu mendapati seseorang yangs sedang terpuruk tolong jangan men-judge atau menganggap remeh hal yang sedang dia alami. Karena kamu belum tentu sekuat orang yang sedang menghadapi ujian itu. Belajar mendengarkan. Mendengarkan saja tanpa harus menghakimi. 


Love,

Ihat

Share:

0 comments:

Post a Comment

My photo
I'm a storyteller who could look back at my life and get a valuable story out of it. I'm trying to figure things out by writing. Welcome to my journey! Please hit me up ihatazmi@gmail.com