Tentang Bapak dan Sepeda Onthel
Photo by Wallace Silva |
Dear Diri Kecil,
Hi, kamu apa kabar? Ini aku dari masa depan, dari sosok dewasamu. Dari kemarin berseliweran terus ya, tentang bapak yang membonceng anak perempuannya. Bahkan sampai viral video seorang ayah di Jember menjual anak ODGJ jadi PSK, dengan video sedang dibonceng ayahnya menggunakan sepeda onthel. Kamu menangis, ketrigger gara-gara sepeda onthelnya kan? Kamu lagi kangen bapak ya?
Aku tahu, bapak baik. Cuma bapak dulu emosian aja. Apalagi kalau udah ditekan sana-sini. Dan ya, aku yang selalu jadi sasaran amukannya.
Aku inget banget, dulu waktu aku kecil aku juga sering dibonceng bapak naik sepeda onthel. Malam-malam, kemudian mamah hanya bisa mendorong dari belakang sepeda sambil berjalan. Rasanya waktu itu aku ingin turun saja, menemani mamah berjalan. Tapi aku belum faham, aku hanya duduk diam di atas jok belakang sepeda dengan perasaan yang memang aku tidak suka karena mamah harus berjalan cepat sembari memegang jok belakang sepeda dan sepeda tetap dikayuh bapak.
Setiap berangkat sekolah TK, kalau tidak berjalan kaki sendirian ya diantar bapak naik sepeda. Bahkan kalau bapak mau mengecek barang dagangan keripik ke toko-toko atau minimarket terkadang aku selalu ngeyel ingin ikut. Sampai suatu ketika aku naik ke jok belakang sepeda itu terlalu kencang membuat miss-V aku sakit dan aku duduk sembari menahan rasa sakit itu. Apalagi tiap pipis, sakit banget. Aku gak berani bilang ke mamah atau bapak pada saat itu, karena aku takut dimarahi.
Atau aku harus melihat sendiri bapak yang tiap kali mau berangkat untuk mengecek barang dagangan ke toko atau ke minimarket dengan dus besar diletakkan di jok belakang sepeda kemudian diikat dengan karet panjang berwarna hitam agar tidak jatuh.
Sepeda itu pula yang dulu kadang membuat aku gengsi. Di saat teman-temanku yang lain sudah diantar menggunakan motor.
Tapi sungguh, aku bersyukur aras moment itu. Hanya aku yang merasakan moment itu paling lama dibandingkan adik-adikku yang lain.
Setiap kali aku dibonceng bapak naik sepeda onthelnya itu, bapak selalu bilang,
"Nyepengan sing kuat." (Pegangan yang kuat).
"Kahade, sampeanna bisi lebet kana ruji." (Hati-hati, kakinya takut masuk jari-jari ban).
Atau kalau misalkan menemukan lubang di jalan, kemudian tanpa sengaja bapak melewatinya lalu aku menjerit,
"Aw.."
"Nyeri henteu?" (Sakit enggak?)
Aku selalu bersyukur atas moment itu. Di tengah kesulitan ekonomi, di tengah kendaraan motor yang pada saat itu masih menjadi barang mewah dan bisa dijadikan ajang pamer, Allah melalui bapak mengajarkan aku tentang arti kesederhanaan dan "kemewahan" versi-Nya.
Dan kini, acap kali melihat bapak-bapak menggunakan sepeda onthel, rasanya aku jadi ingat bapak. Ingin sekali memeluknya pada saat itu juga dan mengatakan,
Terima kasih telah memberiku kenangan indah, yang berbeda dari yang lain.
Terima kasih karena dulu telah memilih hidup dalam kesederhanaan saar kemewahan mulai datang membanjiri dan orang-orang justru malah memaksakan diri.
I'm so proud of being your daughter.
Kalau ada kesempatan, aku ingin mengulang kembali dibonceng bapak naik sepeda onthel. Mungkin nanti giliran aku yang bonceng bapak :)
Love,
Ihat
2 Comments
Very sweet and touching. Thank you for writing this story.
ReplyDeleteDon't mention it. Thank you for reading it :)
Delete