To Be A Career Woman?
Photo by Christin Hume on Unsplash |
Bismillahirrahmanirrahiim
Pagi itu aku putuskan untuk langsung mandi sehabis bubar dari masjid karena akan ada orang tua santri yang menjemput anaknya lantaran ada acara wisuda di sekolah sebelumnya. Masih pagi dan mentari baru bersinar, orang tua santri tersebut benar menempati janjinya dan sudah sampai di gerbang depan utama tepat pukul tujuh pagi. Sebelum pulang itu, anaknya izin pamit sebentar sama teman-temannya. Sambil menunggu si anak pamitan, si ibu bertanya,
“Ukhti gimana anak saya di sini? Dia baik-baik aja kan?”
“Alhamdulillah baik ibu. Dia di sini ceria, mudah bergaul sama temen-temennya.”
“Syukurlah kalau gitu. Tapi bener kan dia baik-baik aja?” Si ibu mengulang pertanyaan yang sama, sepertinya si ibu belum puas dengan jawabanku barusan.
“Baik kok bu. Enggak gimana-gimana.”
“Enggak nyari perhatian lebih kan sama Ukhti?”
Aku mengernyitkan dahi. “Perhatian lebih ibu?”
“Iya Ibu cerita dikit ya. Jadi waktu itu dia di sekolahnya pas SD sering nyari perhatian-perhatian dari temennya sampai akhirnya dia kena bullying.“
“Kena bully ibu?”
“Iya. Dia nyari perhatian gitu karena dia gak nerima perhatian dari saya. Saya sibuk kerja sampai lupa gak ngasih perhatian sama anak. Setelah kena bully itu apalagi pas dia depresi, harus konsultasi ke psikolog saya barulah berhenti kerja. Dulu saya gila kerja sampai lupa sama anak. Semenjak dari sana, saya resign, fokus ngurus dia di rumah, ngasih perhatian yang selama ini hilang dan alhamdulillah kondisinya membaik. Makannya saya sebenarnya takut ketika ngelepas dia ke sini, apalagi sekolah asrama jauh dari saya takutnya dia gitu lagi. Nyari-nyari perhatian dari orang lain. Dia kan baru deket sama saya baru tiga tahun kebelakang ini. Cuma memang ini pilihannya sendiri. Saya bahkan awalnya maksa dia buat sekolah di Negeri aja yang deket rumah, tapi dianya gak mau. Pengen ke sini.”
Obrolan pagi itu entah mengapa terasa seperti pukulan bagi aku yang memang pada awalnya aku berniat ingin menjadi seorang career woman. Career woman atau wanita karir itu sendiri menurut Samsu (2020, p.67) adalah seseorang wanita yang menjadikan pekerjaan atau karirnya sebagai prioritas utama dibandingkan pekerjaan dan status lainnya. Definisi ini benar-benar menggambarkan sosok ibu tersebut. Dari pengakuannya aja kan si ibu itu gila kerja dan parahnya sampai lupa sama anak. Setelah mendengar curhatan si ibu aku jadi sadar bahwa ada harga yang harus dibayar saat kita memilih sesuatu hal. Karena pada hakikatnya kita tak bisa memilih dua hal secara sekaligus bukan? Pasti harus ada salah satu yang diprioritaskan. Sebenarnya gak ada yang salah sih ya ketika kita, as a woman choose to be a career woman. Asal hak dan kewajibannya dijalankan secara beriringan. Although is not easy especially I still single now. Aku belum tahu pasti gimana rasanya jadi seorang istri yang harus berperan sebagai ibu dan juga wanita karir. Tapi mendengar dari kisah si ibu itu ada satu hal yang aku petik bahwa tugas utama kita sebagai seorang ibu ya mendidik anaknya, memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anaknya. Boleh sih kerja, tapi jangan sampai gila kerja juga lupa sama anak, tau-tau anak udah depresi dan harus ke psikolog. Bukankah bayarannya lebih besar ya ketimbang misal dari awal resign kerja atau ya kerjanya sesuai porsi aja tetap ngasih waktu buat anak? Gitu gak sih?
“Jangan sampai kayak saya ya Ukhti, baru resign kerja setelah mental anak kena. Harga yang harus dibayar jelas lebih mahal Ukhti.” Ucap si Ibu menutup cerita singkatnya setelah si anak kembali dari teman-temannya kemudian pamit dan langsung pergi pulang.
Aku kembali merombak cita-cita aku, rencana aku ke depan. Kalau harus fokus dan egois mementingkan karir, pencapaian sendiri, bagaimana dengan anak nanti? Mikirnya udah kejauhan ya heheee, tapi gak apa-apa sih. Lagi pula ini kan baru rencana sisanya Allah yang menentukan.
Cheers,
Sumber:
Samsu. (2020) . Persoalan Wanita Karir Dan Anak Dalam Keluarga Pegawai Negeri Sipil (PNS) Di Provinsi Jambi. Harakat An-Nisa Jurnal Studi Gender dan Anak,5(2),65-71. DOI: https://doi.org/10.30631/harakatan-nisa.2020.52.65-71
0 comments