Hari itu sebenarnya aku cuma ingin perjalanan tenang. Aku udah capek banget dan perjalanan kereta selalu jadi waktu terbaik untuk menyendiri, dengerin playlist, atau tidur selama perjalanan. Apalagi naik kereta eksekutif! Tapi semua rencana itu berantakan begitu aku sampai di gerbong.
Seseorang sudah duduk di kursi yang tertera pada tiketku.
"Permisi, maaf Ma.." kataku, hampir menyebut Mas sampai akhirnya aku terlalu cepat untuk menyadari bahwa orang itu... "Daffa? Daff? Ini kursi aku."
Dia terbangun dari tidurnya. Membuka selimut yang menyelimuti wajahnya dengan tatapan setengah linglung tapi ada sedikit kejutan di wajahnya. Ternyata dia adalah Daffa, teman SMA yang sudah 8 tahun tak pernah bertemu. Tapi nostalgia sirna begitu saja, karena bukannya pindah, dia malah berkata dengan nada santai,
"Ihat? Ih, udahlah udah pewe."
Aku mulai kesal. "Tapi ini kan kursi aku, pindah ih."
"Ya udah sih, santai aja. Kursi kan cuma kursi. Udah di sana aja duduk."
"Ih gak mau." Kataku kesal.
"Ini temen SMA, Kak." Lanjut dia nunjuk aku sambil menoleh ke samping ujung dekat jendela. Rupanya dia pergi bersama Kakaknya. Aku hanya menoleh sebentar kepada Kakaknya itu tanpa senyuman sedikitpun.
Aku mencoba menahan diri, tapi rasanya kayak semua energi buruk hari itu terkumpul di detik itu juga. Bukannya berdebat lebih jauh, aku langsung duduk di kursi sebelahnya—yang memang harusnya itu kursinya dia!
"Dikira tadi Ibu-Ibu. Makannya bingung, Ibu-Ibu siapa sih. Eh taunya."
What? Ibu-Ibu? Aku menatap wajahnya yang jaraknya hanya 10 cm dengan tatapan kesal.
"Dari mana?" Tanyanya kemudian sambil menoleh padaku.
"Aku? Aku emang sekarang tinggal di Bandung." Kataku masih dengan perasaan menahan rasa kesal.
"Di Bandung? Di mana?"
"Pasir Impun."
"Pasir Impun?"
Oh iya, mana dia tahu Pasir Impun. Batinku.
"Cicaheum."
"Masih kuliah?"
"Udah beres. Kerja."
"Kerja? Kerja apa?"
"Ngajar."
"Ngajar?"
"Ngajar di sekolah."
Ya ampun, ngeselin banget!!
"Sekolah?"
"SMP."
"SMP?"
"SMP Harapan."
"Oh..."
Aku menghebuskan nafas panjang. Lalu kami berdua pun terdiam. Dia sibuk dengan games di handphonenya sementara aku sibuk membalas chat di grup bersama sahabat-sahabat terdekatku.
"Kamu naik dari stasiun Bandung?" tanyaku setelah hening lama.
"Iya. Mau pulang soalnya adek wisuda besok, tuh sama Kakak." Jawabnya lalu kembali memainkan smartphonenya.
Hatiku masih tetep dongkol sebenarnya karena itu kursi aku yang udah aku pesan sengaja deket jendela biar bisa bergalau ria. Rupanya rasa kesal tak bisa melawan rasa kantuk yang menyerang. Sayup-sayup mataku mulai tertutup dan aku mengambil posisi untuk tidur sambil nyerong ke arah dia! Sengaja! Biar dia risih lihat aku yang tidur dan menghadap ke dia!
Aku menghitung dalam hati. Sudah sampai hitungan 20 kok gak ada perubahan sih. Dalam hati aku masih ngomel-ngomel meski mata tetap dipaksa untuk terpejam.
"Hmm.." tak lama terdengar dia berdehem. "Ya udah Hat, gih pindah nih." Ucapnya sambil berdiri dan aku pura-pura terbangun lalu pindah ke kursi asliku.
Yes! Berhasil.
Setelah pindah ke kursi asliku, aku pura-pura tertidur kembali menghadap ke jendela dan membelakangi dia. Padahal dalam hati aku sudah gatal ingin membalas balasan chat yang sedang berlangsung di grup. Selang beberapa menit aku membuka hp dan malah cekikikan sendiri sambil membalas chat.
"Adek wisuda besok?" tanyaku lagi setelah hening lama dengan perasaan yang sudah lebih ringan dari sebelumnya.
"Iya, besok wisudanya. Makanya aku sama Kakak pulang."
"Oh gitu ya. Temen aku juga besok sama tuh wisuda, tapi dia wisuda S2."
"Besok kamu ke sana juga dong?"
"Mm, gak tahu sih ya. Kayaknya enggak deh." Hening sejenak kembali tercipta. "Jadi sekarang ini kamu di Bandung atau di Tasik?" Tanyaku lagi.
"Ya.. Aku sih di mana aja bebas." Jawabnya datar.
Heuhh!! Ditanya malah jawabnya gitu! Ngeselin!!
"Hahahaaaa..." Aku tertawa sumbang menahan kesal kembali dalam hati.
Kami kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Aku kembali memejamkan mata dan dia kembali pada permainan di smartphonenya.
Tak terasa kereta yang aku tumpangi dalam hitungan menit akan segera berhenti di stasiun yang aku tuju. Sambil menghadap ke jendela dan mengahayal kehidupan yang lebih baik di masa depan tiba-tiba...
"Heh bangun Ihat, bentar lagi turun."
Bayangan itu berhamburan kabur. Senyum yang terukir di wajah sirna dengan seketika. Sambil menarik nafas panjang menahan kesal aku jawab dengan nada ketus dan mendelik kesal.
"Iya."
Eh yang bersangkutan malah tersenyum menahan tawa.
"Duluan ya Daf, Kak." Ucapku pamit kepada dia dan kakaknya begitu kereta sudah berhenti di stasiun tujuanku.
Untung saja perasaan kesalnya udah sirna sebelum keluar dari gerbong.
Dan begitu sampai rumah, begitu aku cerita pada Mamah, Mamah tertawa terbahak mendengar cerita keributan kecilku itu.
Perasaan gak ada lucu-lucunya deh. Yang ada kesel setengah mati iya. Batinku.