Tulisan ini terinspirasi dari captionnya temen saya di akun Instagramnya dan status WhatsApp santri saya yang ngedumel di grup mereka sendiri sehabis diberi tugas. Sepertinya dia lupa gak hide akun saya, but thanks a lot! You have inspired me :D.
Lantaran musibah COVID-19 yang menimpa pesantren, akhirnya pesantren memulangkan seluruh santri-santrinya berikut seluruh pengurusnya ke rumah masing-masing dan sistem pembelajaran akhirnya diganti jadi daring dimulai Sabtu depan. Nah barusan itu pengumuman-pengumuman mengenai teknis belajar daring itu seperti apa dan bagaimana, kemudian jadwal belajarnya, dan yang tak ketinggalan adalah laporan pembiasaan ibadah dan juga kegiatan selama di rumah. Setelah di share di grup WhatsApp kelas masing-masing beberapa santri (anak asuh saya) mulai mengomentari, terutama bagian laporan pembiasaan ibadah dan kegiatan selama di rumah. Saya tau kebanyakan dari mereka pasti ngedumel,
“Padahal kan di rumah, kenapa mesti laporan tahajud enggaknya sih.”
“Murojaah hafalan Qur’an juga sehari harus setor.“
dan lain-lain…
Bukannya saya suudzan tapi faktanya begitu dan tidak semua santri begitu sih. Tuh kan status anak asuh saya barusan udah dihapus lagi padahal belum sempat saya screenshot. Padahal kalau difikir-fikir kita kan nyuruh untuk melakukan hal-hal baik bukan nyuruh ke hal-hal yang jelek. Namun begitulah jalan menuju Surga, susahnya.
Flashback ke zaman saya dulu. When I was 18.
Saya pernah ada diposisi mereka, sama persis. Mereka yang saat ini usianya rata-rata delapan belas tahun, saya pun dulu begitu. Saat guru saya menyuruh kami semua untuk menghafal Al-Qur’an 3 juz sebagai syarat kelulusan, kemudian sering menegur kami jika tidak sholat tepat waktu, memberi kami hukuman saat kami terlambat datang ke sekolah. Bukan sering lagi, saya ngomel-ngomel mulu. Dalam hati saya bilang,
“Saya kan gak akan sekolah Tahfidz, ngapain harus ngafalin Qur’an 3 juz? 3 juz kan susah. Hafal satu juz aja udah syukur alhamdulillah.”
Atau ketika diomeli dan disuruh murojaah hafalan, sambil ngafalin hati mah tetep ngedumel. Iya gitu intinya saya kan habis lulus enggak akan tinggal di pesantren lagi, saya kan mau kuliah, terus jurusannya juga bukan agama. Repot-repot menghafal. Astaghfirullah emang! :’D
Tapi hidup ya begitu.
Kita tidak akan pernah tahu hidup akan membawa kita ke mana.
Begitupun yang terjadi pada saya. Tanpa rencana dan tak pernah terbersit dalam benak bahwa saya akan tinggal di pesantren. Qadarullah. Allah gagalkan rencana saya untuk kuliah di luar kota dan Allah pilihkan pesantren untuk saya. Hafalan Qur’an yang dulu sering saya omeli kini menjadi bekal saya di sini saat belajar bersama anak asuh saya. Nasehat-nasehat yang dulu sering dilontarkan oleh guru-guru saya kini sangatlah berarti.
Saya tahu, usia delapan belas tahun adalah usia yang paling meyebalkan menurut saya. Merasa serba tahu padahal tak tahu sedikit pun. Merasa berani padahal resikonya tak pernah difikirkan. I said it from my experience.
Dari situ saya cuma bisa senyum dan cuma bisa mengingatkan.
Sekali lagi,
Kita tidak akan pernah tahu hidup akan membawa kita kemana.
Bisa jadi hari ini kita kesal lantaran ajakan orang untuk berbuat baik, coba difikir lagi apa masih ada hari esok untuk kita?
Percayalah suatu saat kalian akan mengingat semua ajakan-ajakan baik ini dan pasti dilubuk hati terdalam kalian, kalian akan menyesalinya.
Kenapa gak dari dulu sih berbuat baiknya?
Regards,
Ihat