Suddenly the
time called me…
Setelah dua tahun
berlalu mengapa tiba-tiba kenangan buruk di bulan September kembali hadir dan
memporak-porandakan seluruh benteng pertahanan yang telah aku bangun dengan
susah payah.
Jika September lalu
aku bisa berjalan tanpa harus kesakitan mengingatmu lagi, lantas mengapa
September kali ini aku harus jatuh ke lubang yang sama? Kembali mengingatmu, kembali
mencercamu, kembali lagi menangisimu…
Sudah seharusnya, ya
sudah seharusnya aku tak lagi menangisimu saat kembali membuka catatan lama. Membaca
setiap ejaan yang kemudian menghidupkan kembali kenangan lama. Aku ingin
kembali membencimu, tapi hatiku terlampau lelah. Aku ingin kembali marah,
berteriak kepadamu. Tapi buat apa? Toh dengan marahnya aku tak akan membuatmu
berpaling darinya begitupun dengan aku yang enggan untuk kembali mengulang bersama
lagi.
Aku terus mencari alasan
lain. Hingga akhirnya aku sadar, aku masih bertanya-tanya atas kepergianmu yang
mendadak dan juga tanpa kejelasan yang jelas. Kamu tak mengakhirinya hanya
menyisakan koma yang tak kunjung usai. Alih-alih menyelesaikan kamu malah
membuat cerita baru yang kini sudah tak bisa diganggu gugat lagi pemiliknya.
Sadar bahwa sudah
seharusnya aku mengikhlaskan koma yang tak kunjung selesai ini. Hanya saja ikhlas
tak semudah kata yang terucap, tak semudah tindakan yang harus dilakukan. Aku sadar.
Aku perlu dialog-dialog yang lebih panjang lagi untuk benar-benar bisa memulihkan
hatiku dan menyadarkan aku bahwa aku tak
perlu lagi mencari alasan ataupun sebab atas kepergianmu yang bak ditelan di bumi.
Karena seperti
katamu dulu, bukankah semuanya sudah usai? Bukankah aku hanyalah bentuk dari
masa lalumu? Bukan untuk masa depanmu. Bahkan bisa jadi
kamu kini telah benar-benar menghapusku dari kehidupan barumu.
Mengapa harus kamu
yang lebih dahulu berlabuh? Mengapa harus kamu yang lebih dahulu membuat
rangkaian cerita indah? Mengapa tidak aku dulu? Orang yang kamu tinggalkan
tanpa alasan. Orang yang kamu jawab dengan undangan: jelas semua itu meluluh
lantahkan pertanyaanku, harapanku, dan juga doaku.
Aku dipaksa untuk
menerima kenyataan tanpa harus berkata lagi mengapa?
Aku dipaksa untuk berhenti
mencari tanpa ada kata tapi.
Dan aku dipaksa
untuk ikhlas, menerima tanpa lagi bertanya sebenarnya mau itu apa?
Aku dipaksa untuk
memeluk semua kenangan itu sendirian.
Dipaksa untuk
kembali berjalan meski aku tahu semua tujuan itu telah hilang.
September kali ini
masih saja membunuhku.
Dengan segala
kenangan yang berputar-putar menari di kepala.
Aku ingin lari, tapi
kenangan itu terus saja membuntuti.
Lantas harus kemana
lagi aku melangkah agar semua kenangan ini melebur dan tak tersisa lagi?
Adakah seseorang di
sana yang siap membantuku melalui dialog-dialog panjang dan juga langkah-langkah
ringan untuk melepaskan beban yang dirasa?
Dimanakah kamu? Bisakah
kamu membantuku?
Aku ingin menerima
September dengan segala pahit dan urusan-urusan yang tak terselesaikan dengan
baik.
Ihat