Photo by Evie Shaffer |
Sudahlah beberapa hari ini Bandung diguyur hujan, ditambah perasaan aku tak karuan. Antara ingin marah, tapi kepada siapa aku marah? Merasa kecewa, lantas harapan apa yang pernah ku buat? Ingin menangis, tapi aku bingung hal apa yang bisa membuatku menangis?
Rasanya tawaku hanya topeng belaka. Menutup rasa kekacauan yang mungkin orang lain tak bisa melihatnya. Sampai pada suatu hari, aku ketahuan sedang melamun di tengah-tengah keramaian. Dipanggil pun aku tak menyahut, hingga entah panggilan ke berapa baru aku bisa sadar dan menoleh.
Keesokannya sungguh, perasaan aku semakin kacau. Akupun bingung dengan perasaan ini. Perasaan yang sudah kuterima tetapi aku kebingungan sendiri karena aku sungguh tidak mengenalnya. Sampai pertanyaan itupun terlontar dari rekan kerjaku,
"Kamu gimana kabarnya?"
Pertanyaan umum tapi justru malah membuat aku tersentak mendengarnya. Cukup beberapa detik untuk aku bisa mencerna pertanyaannya itu.
"Alhamdulillah baik." Jawabku pendek sembari memalingkah wajah.
"Akhir-akhir ini sepertinya kamu banyak murungnya. Tidak seperti biasanya."
Cukup membuatku lebih tersentak lagi dengan pengakuannya itu. Sekilas aku melihat wajahnya, aku jawab dengan seadanya sambil menundukkan wajah.
"Ah, enggak. Biasa aja kok."
"Yakin baik-baik aja?"
"Iya, baik." Jawabku tetap menunduk lantas menjauh dari rekan kerjaku itu dan mengalihkan pembicaraan dengan topik lain.
Aku terus mencari-cari alasan atas perasaanku yang berkecamuk ini.
Ada apa ya? Ingin memaki, tapi siapa dan apa yang bisa aku maki? Berkali-kali malam datang dan aku menangis tetap saja perasaan ini masih saja menetap dan enggan memberiku jawabannya.
Terkadang aku menerka-nerka. Apa jangan-jangan karena janji yang pernah dibuat lantas diingkari bahkan dilupakan begitu saja?
Apa iya itu?
Kalaupun iya berarti aku sudah salah kembali dalam menaruh harap.
Harapan yang seharusnya aku sandarkan kepada sang Maha Pencipta bukan kepada ciptaan-Nya.