Refkleksi Catatan 5: Tentang 20% dan 80%
Photo by Tobi |
Pernahkah gak sih, kamu merasa begitu bahagia karena suatu pencapaian, lalu sadar bahwa kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar?
Terus, gimana perasaan kamu ketika kebahagiaan itu mulai memudar dan kamu harus kembali menghadapi realitas perjuangan?
Aku tidak pernah menyangka, di tengah-tengah kebimbangan hidup yang sedang aku hadapi, di pagi hari itu, Allah seperti sedang berbicara kepadaku melalui orang tua salah satu siswa yang harus aku temui. Setelah selesai konsultasi tentang perkembangan anaknya, si Bunda ini tiba-tiba berkata,
"Bu, kalau kata saya dalam hidup ini 20% kebahagiaan, sisanya 80% adalah pilihan: bertahan atau menyerah."
Aku mengernyitkan dahi, mencoba memahami maksudnya. Seakan menyadari kebingunganku, beliau melanjutkan,
"Misalnya, saat kita diterima di universitas ternama, kita akan mendapat ucapan selamat, merasa bangga dengan almamater kita. Tapi, berapa lama kebahagiaan itu bertahan? Mungkin hanya beberapa minggu. Setelahnya, kita harus menghadapi tugas-tugas yang melelahkan, tekanan akademik, konflik pertemanan, dan tantangan lainnya. Kita akan menghabiskan 80% waktu kita untuk memilih: bertahan dan berjuang, atau menyerah."
Aku mengangguk, mulai memahami arah pembicaraan ini.
"Saat lulus kuliah, kita kembali mendapat ucapan selamat, tapi itu hanya bertahan sebentar. Setelahnya? Kita harus kembali berjuang. Begitu juga saat diterima bekerja di perusahaan impian—20% awalnya penuh dengan kebahagiaan, tapi setelah itu kita kembali dihadapkan pada tekanan kerja, tuntutan, dan rasa jenuh. Sisanya? Lagi-lagi, kita memilih: bertahan atau menyerah."
Aku terdiam, mencerna kata-katanya.
20% kebahagiaan, 80% perjuangan.
Perjuangan yang penuh dengan rasa capek, lelah, kecewa, marah, bahkan terkadang terselip perasaan ingin menyerah.
"Makannya Bu, punya tujuan dalam hidup itu penting. Sebesar apa pun ujian yang datang, kalau kita tahu ke mana kita melangkah, kita akan tetap maju."
Pagi itu, rasanya seperti mendapat mata kuliah kehidupan. Aku mulai menyadari satu hal: tidak ada yang abadi di dunia ini, termasuk kebahagiaan.
Ucapan si Bunda terus terniang di telingaku, sampai kemudian pertanyaan ini bergema dalam benakku.
Apakah kebahagiaan sejati terletak pada hasil, atau pada proses bertahan dan berjuang?
Tak lama setelahnya, aku mengikuti sebuah kajian, dan di sanalah aku menemukan jawabannya.
"Dialah yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji siapa di antara kalian yang terbaik amalnya." (QS. Al-Mulk: 2)
"Dan kehidupan dunia ini, hanyalah senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu mengerti?" (QS. Al-An'am:32)
"Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim." (QS. Ali-Imran: 140)
Aku terdiam. Rasanya ayat-ayat ini menamparku.
Di era media sosial ini, mudah sekali melihat hidup orang lain yang tampak lebih bahagia hanya dari postingannya. Aku lupa, bahwa yang mereka bagikan hanyalah potongan kecil dari kehidupan 24 jam mereka. Aku terlalu sibuk membandingkan hidupku dengan orang lain, lalu merasa tertinggal.
Tapi semakin dewasa, aku menyadari sesuatu.
Saat sesuatu yang ingin kamu capai ternyata belum bisa kamu capai, lepaskan.
Jangan digenggam, biarkan ia berjalan menemui rumahnya sendiri. Kelak, kalau kamu adalah rumahnya, ia pasti kembali.
Kadang keindahan postingan orang-orang di media sosial membutakan kita. Sampai-sampai kita sendiri merutuki nasib kita yang menyedihkan. Padahal, namanya juga media sosial. Semuanya diatur, dipoles, diperindah sesuai dengan apa yang kita mau tampilkan. Jangan pernah terkecoh dengan postingan-postingan yang tersebar. Setiap hidup akan selalu ada ujiannya, masalahnya. Karena udah Allah sampaikan, kehidupan dunia itu hanyalah kesenangan sementara dan akhirat adalah kehidupan yang kekal.
Kalau sekiranya media sosial itu malah bikin kamu banyak mengeluh dan terus membandingkan hidupmu dengan orang lain, mungkin saatnya mengambil jeda. Coba jalan keluar rumah, lihat sekitar kita. Masih banyak hal yang bisa kita syukuri tenyata. Terkadang, kebahagiaan sejati bukan tentang mencapai sesuatu yang besar, tetapi tentang menemukan keindahan dan ketulusan dalam hal-hal sederhana.
Dan yang terpenting...
Gak apa-apa kalau jalan hidupmu berbeda dengan teman-temanmu yang lain. Jangan pernah merasa tertinggal. Semua ada masanya.
Cheers,
Ihat
0 Comments