Refleksi Catatan 3: Jatuh Cinta Sendirian
Photo by Ylanite Koppens |
Aku kira ini bakal jadi yang terakhir.
Ternyata aku masih harus patah hati lagi.
Sedih dan kecewa memang ada, tapi rasanya enggak terlalu besar. Semua terasa biasa aja, hanya di ambang batas wajar. Meski iya, aku tahu diri aku nggak baik-baik aja waktu aku tahu kenyataannya.
Aku seneng banget waktu dia mulai hadir dalam hidup aku. Dia yang baik, sopan, enggak pernah bilang aneh-aneh, dan juga enggak pernah obral janji. Sekalinya janji, selalu ditepati. Ngobrol sama dia itu berasa kayak lagi ngobrol sama teman lama yang udah lama enggak ketemu. Dia bisa dengan mudahnya paham apa yang aku utarakan tanpa harus aku jelaskan secara detail. Begitu pun sebaliknya. Sulit bagi aku untuk bisa klop sama orang, apalagi kalau harus berbagi hal-hal yang bersifat personal.
Aku merasakan banget perbedaannya. Waktu di awal kenalan dia cukup tertutup. Sulit banget buat bahas diri dia sendiri. Komunikasi hanya sebatas ngobrolin soal budaya di negara masing-masing. Lambat laun, aku merasakan dia mulai terbuka sama aku dan menunjukkan sisi humorisnya. Aku tahu rasa nyaman di antara kita enggak tiba-tiba datang begitu aja. Semuanya murni datang secara perlahan dan membutuhkan waktu yang cukup lama.
Ada satu momen di mana aku lagi merasa down banget dan udah pengen nyerah aja. Aku cerita sama dia. Aku kira habis itu aku bakal ditinggalin karena dia tahu sisi lemahnya aku, eh ternyata enggak. Dia justru malah support aku, sering memvalidasi perasaan aku, dan selalu berhasil meredakan emosi aku yang emang aku sendiri sulit untuk bisa menanganinya seorang diri. Dia enggak mudah untuk men-judge juga. Aku suka dengan kejujuran dia, ketegasan dia dan cara dia menepati janji yang udah dibuatnya.
Sampai aku sadar, komunikasi ini rasanya udah bukan lagi sebatas teman. Aku memberanikan diri untuk bertanya apakah dia memiliki intention yang lebih untuk hubungan ini atau tidak. Dan jawabannya adalah tidak. Dia hanya ingin menjadi teman, sebatas teman dekat saja. Dia bilang bahwa untuk kejenjang serius, menurut dia hubungan ini tidak akan berjalan dengan baik dan tidak akan pernah terwujud. Alasannya ya jarak kita yang jauh, beda negara, beda benua, belum lagi perbedaan budaya, harus mengurus perizinan untuk tempat tinggal/kewarganegaraan, belum lagi salah satu pihak harus ada yang mau meninggalkan keluarganya, ditambah juga masalah finansial. Dia tidak ingin menyakiti satu sama lain karena rasa kecewa nanti di akhir. Jadi, dia memutuskan untuk berteman saja tanpa komitmen apa-apa. Dia pun bilang, dia hanya ingin aku bahagia meskipun itu berarti bukan sama dia.
Awalnya, tidak bisa dipungkiri. Perasaan sedih sekaligus kecewa datang menyelinap dalam hati. Saat itu, aku pun memutuskan untuk mengambil jeda sejenak. Tapi lucunya, itu tidak berhasil. Hanya beberapa hari tidak berkabar, dia akhirnya datang kembali dan bilang juga bahwa sebenarnya dia juga sedih. Di sisi lain, dia juga tidak ingin aku terluka lebih dalam lagi karena dia yakin hubungan ini tidak akan pernah terwujud.
Kami pun kembali memulai obrolan biasa dengan permintaannya bahwa aku harus segera melepaskan dan menghapus perasaanku padanya. Oke, aku bisa mencoba melepaskannya sedikit demi sedikit. Namun tetap saja, aku gak munafik. Perasaan itu justru malah makin tumbuh karena aku jadi lebih tahu sisi dia yang lain. Dia yang mau belajar hal-hal baru, sering diandalkan teman-temannya dalam bekerja, tahu caranya meredam rasa curiga atau overthinkingnya aku, dan selalu bilang,
"It's ok."
"Everything will be ok. You can pass it well!"
"Keep calm. You can handle it. Trust yourself!"
Dia yang selalu meluruskan kesalahpahaman dengan kepada dingin dan santai. Bahkan terkadang selalu mengurutkan kesalahpahaman yang ada kemudian dia jelaskan satu persatu. Kalaupun harus jujur, sifat dia selama ini adalah sifat-sifat yang seluruhnya pernah aku tulis. Sayangnya, aku lupa satu hal: aku harusnya menulis juga, "Dia yang ingin memperjuangkan aku tanpa ragu dan bukan hanya sebatas teman saja."
Sedih sih, tapi mau gimana lagi ya. Aku juga enggak bisa maksa dia. Cuma yang masih jadi pertanyaan adalah, kenapa dia sudah memutuskan dari awal bahwa hubungan ini enggak akan berhasil dan terwujud? Padahal aku dan dia belum pernah discuss perihal pros and cons jika kita memutuskan untuk melanjutkan hubungan ini ke arah yang lebih serius.
Demi melindungi diri aku sendiri, aku mulai mencoba secara bertahap untuk meninggalkan dia. Berat rasanya, karena dia adalah tempat aku merasa aman dan dimengerti. Tapi aku tahu, kalau aku terus bertahan, aku hanya akan makin terluka. Aku tahu, enggak nyaman banget menginggalkan dia. Tapi aku enggak mau lagi menyakiti diri sendiri lebih lama dengan bertahan sama orang yang dia sendiri udah pesimis buat memperjuangkan aku di hidupnya.
Mari belajar melepaskan ya ;)
Ihat
0 Comments