Pulang ke Rumah Orang Tua: Antara Pemulihan dan Pertimbangan

Photo by Polina Tankilevitch

Seminggu ini rasanya seperti perjalanan emosional yang tak terduga. Senin pagi yang ceria, Selasa yang bahagia, Rabu penuh syukur dan gelak tawa, hingga Kamis aku memutuskan untuk tidak masuk lantaran perutku yang terasa begah dan sakit disusul mual-mual saat bangun tidur. Aku segera mengabari rekan kerjaku kalau aku hari itu tidak bisa masuk. Aku memilih untuk mengistirahatkan diri dan berfikir rasa sakit ini akan berakhir dengan beristirahat seharian ini saja, besok sudah pasti bisa masuk kembali untuk bekerja, inshallah. 

Jumat pagi. Sudah mandi, sudah merias diri ternyata pusing yang ku tahan sejak bangun pagi malah semakin menjadi-jadi. Duduk diam di pinggiran kasur sambil coba atur nafas tetap saja di sekelilingku rasanya seperti berputar-putar. Terpaksa aku mengirimkan pesan kembali bahwa aku belum bisa masuk bekerja. Sungguh, pagi itu rasanya tak bisa ditahan lagi, akhirnya akupun memutuskan untuk pergi ke dokter sendirian. Dengan naik transportasi online akhirnya aku sampai di klinik yang aku tuju. Sambil menunggu antrian rasanya ada yang lebih sesak dalam hati. Jauh dari keluarga, tidak ada sanak keluarga satupun, ya begitulah namanya anak rantau. Padahalkan merantau adalah keinginanku sendiri, tapi kalau udah sakit rasanya kok malah jadi tambah melow ya. Diperiksa dokter yang aku kira pasti akan cukup dengan diberi obat ternyata maag aku kondisinya udah mulai cukup parah dan dokter meminta aku untuk disuntik aja. 

Ku kira selama satu minggu kemarin, aku baik-baik saja. Ternyata jauh sebelum aku ambruk hari itu, sebenarnya tubuhku sudah banyak memberikan signal cuma ya aku ignore gitu aja. Barulah aku mengabari orang rumah bahwa aku sedang tidak sehat. Rencana untuk pulang sebenarnya sudah direncanakan dari seminggu sebelumnya ya, bahkan berniat untuk mengunjungi festival. Qadarullah, kondisi tubuhku yang menyerah, jadi aku pulang dalam rangka beristirahat. Meski, Mamaku khawatir sekali pada saat aku dalam perjalanan pulang, tapi alhamdulillah aku bisa pulang dengan selamat. 

Sedih sih, karena pas sampai rumah aku juga lebih banyak beristirahat. Adekku nampaknya kesal karena tidak jadi pergi ke festival. Padahal itu adalah momen yang aku nanti-nanti selama ini. Pergi ke festival bersama Mama di bulan Oktober. Karena selama 27 tahun ini aku belum pernah pergi ke festival bersama Mama, kalau sama Bapak pernah ya waktu aku kecil. Kadang suka bertanya-tanya, kemarin-kemarin aku kemana sih? Sibuk ya sama urusan kerjaan? Sekarang udah jauh baru deh kerasa. 

Selama beristirahat di rumah pun, Mama kelihatan sekali khawatirnya. Bilang, ya kalau jauh gini. Kalau sakit kan gak ada yang ngurusin. Apalagi memang seumur-umur kalau maag aku kambuh gak pernah sampai disuntik. Cukup dengan minum obat atau diistirahatkan biasanya cepat pulih lagi. Gak cuma Mama aja sih, Bapak pun sampai bilang, ini kalau sakit kayak gini terus mana bisa kamu jauh-jauh dari Bapak. 

Nyes! Rasanya kayak jleb gitu. Kenapa ya? Apa mungkin karena kedekatan kita baru terasa diakhir-akhir ini? Nyesek ada, pengen nangis iya. Aku tahu, orang tua aku tahu. Hubungan kita dulu gak sedekat ini, bahkan dulu waktu aku SD, kalau sakit tuh udah pasti ditinggal dan aku tinggal sendiri di rumah. Dan semuanya ya baru terbongkar sekarang. Mama yang ku kira dulu cuek dan lebih memilih kerjaan ternyata ya, hatinya tidak bisa fokus selama bekerja dan ingat aku yang lagi sakit di rumah sendiri. Makanya sekarang, tiap ada apa-apa pasti khawatiran banget.

Awalnya, aku pulang ke rumah kan hanya ingin istirahat, ingin sembuh. Tapi nyatanya, dalam prosesnya aku seperti menemukan alasan yang lebih dalam untuk tetap tinggal bersama mereka - orang tuaku yang sudah menua. 

"Kalau masih pusing, ya udah jangan dulu pulang. Nggak usah buru-buru balik," ucap Mama sore kemarin, membuat aku agak terdiam lama. 

"Maunya gitu sih, Mah. Tapi kalau udah dewasa gimana ya, gak bisa semudah izin kayak waktu sekolah." Jawabku sambil menahan buliran air mata. 

"Ya udah, besok mau dimasakin apa? Biar shubuh sekalian Bapak ke pasar."

Nyes. Udah, udah. Perasaan aku kacau balau. 

"Mm.. Pengen ayam aja, ayam goreng."

Dan tadaaa... keesokannya, bangun tidur sudah tercium aroma ayam goreng dari dapur. 

"Gimana masih pusing?" tanya Mama.

"Alhamdulillah udah mendingan Ma," jawabku.

Kesibukan di kota, jauh dari keluarga, di bawah tekanan pekerjaan kadang membuat aku lupa untuk bisa mengambil jeda sejenak. Merasakan kebahagiaan dari kesederhanaan suasana rumah yang sering kali kita lupa untuk bisa mengunjunginya. Ternyata support system terbaik aku saat ini adalah keluarga. Kehadiran dan perhatian Mama dan Bapak yang sedikit demi sedikit mampu mengobati anak kecil dalam diri ini, membuat aku merasa bahwa ternyata ada lho tempat di mana aku selalu diterima tanpa syarat. 

Mungkin perasaan-perasaan tidak nyaman yang aku rasakan selama berbulan-bulan ini dan juga suara-suara bising di kepala adalah pertanda aku harus lebih sering pulang kali ya? Ya, karena setiap kali pulang perasaan-perasaan dan suara-suara bising itu hilang, lenyap. Mungkin hal-hal yang dirasa tidak nyaman ini memberikan tanda untuk aku agar bisa tinggal lebih lama lagi dengan orang tuaku. 

Perihal waktu, kita tidak pernah tahu. Semoga di akhir bulan resignku nanti aku bisa pulang ke rumah dan menemani mereka sepenuhnya. Sungguh, aku sudah kehilangan waktu yang sangat banyak bersama mereka. Ya Allah, tolong takdirkan itu untukku. 


Untuk kamu, yang masih bisa pulang dan menemui orang tua, sesering mungkin temui mereka ya. :')


Cheers,

Ihat

Share:

0 comments

Follow Me