Photo by Gül Işık |
Satu bulan yang lalu, aku benar-benar struggle dengan diriku sendiri. Aku malas pergi bekerja, malas bertemu dengan anak-anak, malas berinteraksi dengan orang-orang, maunya ya diam sendiri di kosan. Malas makan, malas mengurus diri, ruangan hampir seperti kapal pecah, maunya tidur seharian. Aku kira perasaan-perasaan malas ini karena aku akan haid tapi sepertinya bukan. Emosiku tak karuan, mood swing. Di sekolah tertawa terbahak-bahak tapi setelah itu aku akan daydream sendirian. Pulang-pulang sampai di kosan bengong, bahkan yang paling parah adalah aku malas salat dan mengaji. Begitu malam datang, perasaan aku berubah. Aku ingin menangis tapi aku bingung apa yang harus aku tangisi. Ingin berteriak tapi takut menganggu tetangga. Ingin marah tapi aku juga bingung hal apa yang sebenarnya membuat aku marah. Selama hampir dua minggu berturut-turut perasaan aku kacau. Dua orang temanku yang menyadari ada sesuatu yang tak beres dengan diriku mulai menanyai perasaanku secara perlahan.
"Kamu apa kabar? Sehat?"
Pertanyaan yang dilontarkan oleh temanku entah mengapa terdengar sangat menusuk.
"Alhamdulillah baik." Jawabku bohong dan menghindar tatapan matanya.
"Oh baik ya," timpalnya lagi membuat aku membuang nafas kesal. Aku tahu dia menyadari sesuatu atas diriku.
"Tapi akhir-akhir ini kok keliatannya murung," sambungnya lagi membuatku kesal.
"Enggak kok, aku baik-baik aja." Jawabku agak meninggi sambil memalingkan muka dari wajahnya. Sungguh aku benci saat orang lain mulai peduli dengan diriku. Buat apa peduli? Cuma pengen tahu keadaanku aja kan? Habis itu kalian gak benar-benar peduli tentang aku?!
Fikiranku saat itu berkecamuk. Rasanya sulit untuk bisa percaya pada orang lain. Alih-alih percaya kepada orang lain, aku pun mulai kehilangan kepercayaan pada diriku sendiri. Sulit bagi aku untuk bisa jujur atas perasaanku sendiri. Aku mulai denial dengan perasaan apapun yang datang. Dan saat itu aku memilih untuk menutup hati dan membiarkan perasaan-perasaan aneh yang menyusup itu menggedor-gedor pintu hatiku.
Semakin aku menguncinya rapat, semakin aku denial dengan perasaan yang hadir, dan aku malah lari dari hal yang seharusnya aku hadapi dan aku terima akhirnya aku kewalahan sendiri. Topeng yang selama ini aku gunakan rupanya sudah tidak bisa lagi menutupi dengan baik. Tawaku sudah semakin terdengar mengerikan di telinga orang-orang yang bisa mendengarkan. Senyumku terlihat menyedihkan di mata orang-orang yang benar-benar bisa melihat. Ceritaku sudah seperti kaset butut yang tak lagi bisa disimak dengan baik.
Hari itu aku ingin menyerah, rasanya aku ingin tidur selamanya.
Namun pertolongan Allah datang melalui permasalahan yang menimpa anak didikku. Niat awal aku bertemu dengan psikolog sekolah adalah aku hanya ingin meminta bantuan untuk menghadapi anak didikku ini. Alih-alih membahas anak didikku sendiri rupanya tanpa sadar aku membuka pembicaraan mengenai diriku sendiri.
Tangisku tumpah, dadaku sesak, dan aku menangis kesakitan. Perasaan-perasaan yang selama ini aku tahan dan dibiarkan menggedor-gedor di depan pintu hati akhirnya meledak dengan sendirinya. Fikiran-fikiran hitam dan chaos kembali memenuhi isi kepala.
Aku sudah ditahap frustasi rupanya.
Rasa sakit atas pengabaian di masa kecil, penolakan, jarang diapresiasi dan dihargai, selalu mendahului kepentingan orang lain, teriakan yang memilukan, bullying verbal, disalahkan, dikambing hitamkan, ditinggalkan, dihakimi.
Semuanya kembali bermain dalam satu waktu dan pada saat keadaan sekarang ini justru memperlakukanku dengan baik, ada perasaan haus untuk mendapatkan apa yang selama ini belum pernah aku dapatkan dan perasaan ragu serta curiga, apakah mereka tulus? Atau mereka hanya berpura-pura?
Setelah sesi konseling itu, perlahan aku mulai belajar memaafkan diriku seutuhnya. Mungkin aku sudah memaafkan orang lain, tapi ternyata aku belum memaafkan diriku sendiri. Aku belum memeluk sosok kecil dalam diriku yang selama ini selalu hadir, belum menyampaikan bahwa kamu tak usah menyalahkan dirimu sendiri atas hal yang terjadi di masa lalu. Orang tua sudah meminta maaf bukan? Dan kamu sudah tak membenci mereka bukan? Apalagi mereka memperlakukanmu dengan baik pada saat ini. Di saat usia mereka sudah senja, di saat waktu kita dengan mereka sudah tak lagi banyak.
Aku kira proses memaafkan diri sendiri dan menerima hal yang pernah terjadi itu mudah ya, ternyata tidak. Aku memulai proses memaafkan diriku sendiri dengan kembali menulis di buku harian. Sungguh, perasaan itu sesak saat diketuk bahkan aku sendiri tak bisa memaksa diri aku sendiri untuk bercerita. Semakin digali semakin sakit. Pada saat itu aku menghubungi psikolog sekolah melalui pesan pribadi. Beliau bilang tak usah dipaksa, ajak ngobrolnya senyamannya.
Lalu aku berfikir, buat apa terburu-buru untuk menyembuhkannya? Buat apa? Bukankah rasa sakit juga harus dirasakan dan diterima ya? Jangan ditolak?
Sampai suatu hari, temanku berkata seperti ini melalui pesan pribadi.
Kamu kemarin parah banget sih. Harusnya kalau mau nangis ya nangis aja.
Kayak pengen bilang, ayo dong nangis. Gak apa-apa terlihat lemah juga.
Deg!
Sejenak aku membiarkan pesan itu terbuka, perlahan rasa kesal dan marah muncul dalam hati.
Ngapain sih ni orang? Dia kan gak tahu apa-apa soal aku? Kenapa dia jadi sok tahu?
Jujur, aku marah. Aku marah sekali. Kenapa? Karena aku merasa dia sudah berhasil menghancurkan benteng pertahananku dan memporak-porandakan isi hatiku. Aku menangis pada saat itu. Alih-alih bersyukur karena rupanya ada orang yang peduli, ini malah marah dan tidak terima.
Aku membalas pesan-pesannya itu dengan emot tertawa, atau sekedar hahahahah, wkwkwk padahal sungguh hatiku sudah ketar-ketir. Seolah dia mengetahui tempat persembunyianku selama ini. Butuh waktu untuk bisa menerima bahwa aku itu bukan robot, aku tuh manusia. Jadi kalau terlihat sedih, lemah, gak bisa, ya gak apa-apa.
Yaahh maybe this is my turn to heal myself. Karena buat sembuhin diri sendiri kan tanggung jawab diri sendiri. Aku gak mau nanti malah jadi beban buat orang lain. Bersyukur masih dikasih kesempatan buat sembuhin diri sendiri dan bertemu orang-orang baik dan juga support.
Kataku kemudian pada akhirnya.
Tapi gak bisa sih kalau sendiri.
Aku jamin.
Nanti ada aja orang yang bantu.
Magical emang.
Banyak orang yang datang dan pergi dalam prosesnya.
Ok, wait and see ya.
Jawabku pendek dengan perasaan tidak percaya. Padahal kalau difikir-fikir dengan kehadiran psikolog di sekolah saja itu sudah sangat membantuku. Bukankah pada saat aku datang aku tidak berniat untuk menceritakan soal pribadiku?
Tak lama pesan dari orang tua datang yang tak biasanya menanyaiku tentang aktifitasku yang membuat hatiku senang sekali. Kemudian tiba-tiba ada kegiatan mengenai mental health yang diisi oleh psikolog sekolah dan pada saat itu beliau bilang you don't have to be a superman. Kamu manusia kan bukan robot?
Aku terdiam, teringat pesanmu beberapa hari lalu. Ini bukan suatu kebetulan bukan? Seperti yang kamu bilang bahwa pada saat prosesnya aku akan menemui people come and go? Mungkin kamu juga adalah salah satunya.
Kemudian ketika kegiatan city mapping bersama anak-anak, beberapa tempat yang dikunjungi seolah memberiku sebuah nasihat. Di tempat pertama, si Bapaknya bilang ya namanya hidup pasti ada ujiannya, ada susahnya. Mau di manapun itu. Kemudian di tempat makan, aku lupa dengan tulisannya yang terpampang tapi jelas itu sedikit menamparku.
Lalu selang beberapa hari pada saat discuss materi tentang slow and fast, ada satu sesi di mana tutorku bilang gini, slow makes you focus on what you do.
Aku terdiam kembali dan merasa tertampar. Buat apa do the things on the double? Mau ngejar apa? Biar sama kayak orang-orang dan dipandang berhasil? Terus kalau misal posisi kamu saat ini masih di angka satu dan orang lain sudah di angka lima kamu akan marah sama diri kamu sendiri? Bukankah sudah cukup ya luka lama saja masih belum terobati?
Why don't you walk at a snail's pace? Bukankah kalau kamu pengen menuju 5 kamu harus melewati angka 2,3 dan 4 dari garis kamu yang saat ini masih ada di angka 1? Bukankah setiap orang itu berbeda ya garis mulainya? Kenapa harus membandingkan dengan kehidupan orang lain lalu kembali menyalahkan dirimu sendiri saat kamu merasa gagal?
Kalau aku masih lelah, terus membandingkan dengan kehidupan orang lain dan masih belum bisa menerima hal yang pernah terjadi, sepertinya aku harus mengecek kembali peta hidupku.
Jadi sebenarnya apa yang kamu cari selama ini? Dunia atau akhirat? Pengakuan manusia atau pengakuan Allah? Ridanya manusia atau ridanya Allah?