Yang Lalu Biarkan Berlalu
Photo by Brett Jordan from Pexels |
Instagram @klik.klas
Selasa, 16 November 2021 akhirnya hari itu tiba dan sesi konsultasi psikolog aku dilaksanakan tepat pukul 11.00 sampai 12.00. Melalui Google Meet aku log in 15 menit lebih awal sesuai peraturannya. Dan ternyata saat aku log in itu, psikolognya sudah stand by dan tidak perlu menunggu jam 11 pas. Psikolog aku, Marina Yollanda, langsung menyapaku, bertanya mengenai identitasku dan juga kabarku. Sesi konsultasipun berlangsung sampai pukul 12 tepat.
Hal yang aku konsultasikan adalah mengenai rasa ketakutan aku akan suatu hal yang belum pasti terjadi (overthinking) karena aku pernah mengalaminya di masa lalu. Fikiran-fikiran negatif ini sering muncul menjelang aku tidur yang pada akhirnya membuat aku susah tidur dan tidur aku pun tidak nyenyak. Dan hal ini benar-benar mengganggu jam tidur malamku.
Psikolog Marina bertanya padaku,
“Coba Ihat saya mau tanya, Ihat ini hidup di masa lalu, masa kini, atau masa depan?”
“Masa kini.” Jawabku.
“Nah karena Ihat hidup di masa kini, berarti harusnya Ihat harus fokus di masa kini. Masa lalu kan sudah berlalu, sedangkan masa depan belum tentu terjadi. Bagaimana dengan ketakutan akan suatu hal karena dulunya pernah kejadian? Kita akui saja bahwa hal itu pernah terjadi di masa lalu, bukan saat ini, dan belum tentu terjadi di masa depan.”
Aku pun terdiam mendengar penjelasan dari Psikologku. Otaku kembali mulai berfikir, jangan-jangan selama ini rasa ketakutan itu muncul karena aku belum mengakui bahwa hal itu “pernah” terjadi di masa lalu dan bukan saat ini ataupun masa nanti. Bisa saja selama ini aku hidup dalam bayang-bayang ketakutan masa lalu.
“Yang perlu Ihat ingat adalah, kita tidak bisa menghindari apa yang sudah menjadi ketentuan untuk kita.” Lanjut Psikolog Marina.
Jleb! Ucapan beliau ini sangat tepat sasaran.
“Kematian, kegagalan, keberhasilan, pertemuan, perpisahan. Semua ini adalah sesuatu hal yang pasti terjadi pada setiap orang.”
Aku beristighfar, memohon ampun kepada Allah. Ya Allah jadi selama ini iman aku sangat lemah sekali. Aku lupa bahwa ketakutan akan hal seperti ini sudah ada dalam Al-Qur’an.
“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang ditimpa musibah mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kamu kembali).” (Q.S Al-Baqarah 155-156)
“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfudz) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh yang demikian itu mudah bagi Allah.” ( Q.S Al-Hadid 22)
Aku bersyukur sekali bisa mendapatkan kesempatan untuk bisa berkonsutasi langsung dengan psikolog. Ternyata bercerita ke psikolog itu berbeda dengan bercerita ke teman. Mungkin kalau cerita ke teman justru aku malah mendapatkan sebuah judgment. Seperti “alah gitu aja difikirin. Gak usah overthinking kali. Makanya jangan hidup di masa lalu.” Meski sebenarnya urgensinya sama aja yaitu mengingatkan agar kita tidak berlarut-larut dalam masa lalu, tapi cara penyampaiannya sangat berbeda. Dengan psikolog aku bisa bercerita bebas tanpa merasa takut dihakimi. Hal-hal yang selama ini selalu aku sembunyikan perlahan terkuak di waktu yang hanya berdurasi 60 menit ini. Bebanku perlahan berkurang dan aku mulai mencari cara sendiri untuk menenangkan fikiranku dikala fikiran-fikiran negatif muncul.
- Mulai saat ini saat fikiran-fikiran buruk itu menghampiri aku langsung beristighfar. Karena fikiran-fikiran buruk itu bisa saja datang dari bisikan syetan membuat kita tidak yakin atas takdir Allah.
- Mengakui hal-hal yang tidak menyenangkan yang terjadi di masa lalu : “ya sudah, sudah terjadi di masa lalu bukan di masa kini apalagi di masa depan.” Yang telah lalu biarlah berlalu. Life must go on. Karena mau tidak mau hidup akan terus membawa kita berjalan bukan berdiam diri.
- Kalaupun harus gagal lagi, tidak apa-apa. Tidak ada yang salah, hanya perlu dicoba lagi. Tetap optimis. Perkara gagal dan berhasil bukan jangkauan kita. Tugas kita hanya berusaha/berikhtiar, berdo’a, dan bertawakal.
- Meyakini sepenuhnya bahwa apa yang terjadi sudah dituliskan oleh Allah SWT. Apa yang harus terjadi dalam kehidupan kita sudah menjadi ketentuan kita dan berhenti berandai-andai. Karena berandai-andai termasuk orang munafik. Lihat kisahnya dalam Al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 166-168.
“…Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engaku bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.” (Q.S Al-Baqarah: 286)
as a self reminder,
0 Comments